Persaudaraan kemanusiaan menembus dinding perbedaan religiositas, etnisitas dan bahkan kebangsaan. Itulah yang dialami Rasmidin (40) bersama istri dan kedua anaknya, Rafika (9) dan Atun (8) yang karena luka bakar serius yang merusak wajahnya telah membawa mereka ke Australia.
Luka bakar serius Rafika dan Atun akibat kebakaran yang menghanguskan rumah mereka ketika gempa bumi menggoyang desa mereka di Pulau Simelu, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 19 November 2005, mengetuk hati para pegiat "Rotary Overseas Medical Aid for Children" (ROMAC) Australia untuk membantu mereka mendapatkan operasi kulit dan perawatan intensif di sebuah rumah sakit di Brisbane, Queensland.
"Saya, istri, Rafika dan Atun sudah seminggu di Brisbane. Oleh ROMAC, kami dititipkan di sebuah keluarga Australia yang sangat baik," kata Rasmidin yang juga mengalami luka bakar serius kepada ANTARA yang menghubunginya dari Canberra, Sabtu.
Rasmidin mengatakan, ia bersama istri dan kedua anaknya yang sejak tiba tinggal di Jalan Kellet 34 (dekat wilayah Towoong Village) ini akan berada di Brisbane lebih dari setengah tahun karena proses penyembuhan operasi kulit dan perawatan kedua anaknya bisa memakan waktu enam bulan.
"Menurut para aktivis ROMAC, lama waktunya juga tergantung pada kondisi mereka nanti," kata warga Desa Batu Ralang, Kecamatan Teupa Selatan, Kabupaten Simelu, Provinsi NAD itu.
Kendati jauh dari desa tempatnya biasa tinggal dan terpisah pula dari sanak keluarga, termasuk Hafiz Royen (4,5), anak ketiganya yang harus tinggal bersama neneknya karena ia sudah dianggap mulai sembuh dari luka bakarnya, Rasmidin mengaku "tidak merasa sepi dan sendiri".
"Kami tidak merasa sendiri karena, Alhamdulillah, luar biasa kebaikan keluarga yang kami tempati rumahnya ini. Ungkapan empati dan persaudaraan dari orang-orang Indonesia di Brisbane pun sangat kami rasakan sejak kami tiba. Kami terus dijenguk mereka sehingga kami kembali merasa berada di Aceh dan tidak kesepian," katanya
"Kemarin (4/5) saja, ada rombongan dari UQISA (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland-red.) datang dengan dua mobil penuh. Sempat pula kami shalat berjamaah. Pemilik rumah, Bapak Torin dan Ibu Christy, sangat senang melihat begitu besarnya perhatian warga Indonesia di sini terhadap kami," kata Rasmidin.
Mengenai musibah yang menyisakan perih kepada ia dan ketiga anaknya, ia mengatakan, peristiwa naas itu terjadi pada malam tanggal 19 November 2005 ketika gempa bumi dahsyat kembali menggoyang Simeleu.
Gempa tersebut adalah gempa kedua yang terjadi pada 2005 setelah yang pertama pada Maret. Pada gempa pertama, ratusan orang di Pulau Simelu dan Pulau Nias, Sumatera Utara tewas.
Kendati tidak sekuat yang pertama, gempa yang terjadi pada 19 November 2005 atau hampir setahun setelah bencana tsunami 2004 itu justru merupakan awal dari perjalanan hidup Rasimin dan kedua anaknya hingga membawa mereka ke suasana kehidupan baru di Australia.
Musibah itu bermula ketika lampu teplok di salah satu dinding rumah papan berukuran tiga kali enam meter persegi yang dibangunnya secara darurat itu terjatuh ke lantai akibat goncangan gempa. Api menyambar apa saja yang ada di sekitarnya.
Rasmidin dan istri, serta ketiga anaknya tertidur pulas di kamar sempit rumah darurat itu saat kejadian.
"Pada malam kejadian itu, kami semua sedang tidur dalam satu kamar yang memang tak berjendela," katanya.
Sesaat setelah kobaran api membesar, Rasimin dan istri baru menyadari bahaya yang datang. Dengan sekuat tenaga ia dan istri keluar dari rumah namun tidak ingat bahwa ketiga anaknya masih di kamar.
Namun, ia segera sadar, terutama setelah istri mengingatkan dirinya tentang anak-anak mereka yang masih terlelap di kasur.
"Masih untung, Rafika terbangun dan berjalan keluar tapi ia sudah 'diikuti api'," katanya mengenang kejadian itu
"Saya segera ke kamar. Saya terobos saja api yang sudah semakin membesar untuk menyelamatkan Atun dan Hafiz. Saya bolak balik menerobos api untuk menyelamatkan kedua anak saya itu. Kebetulan rumah kami agak jauh dari rumah-rumah tetangga sehingga mereka baru tiba setelah api membesar," katanya.
Setiba di luar rumah, Rasmidin mengatakan, ia jatuh pingsan.
"Hampir sekujur tubuh saya terbakar. Saya tidak sadarkan diri selama 20 hari di rumah sakit," katanya mengutip ucapan keluarganya yang sempat menungguinya di rumah sakit.
Untuk menolong jiwanya dan jiwa anak-anaknya yang mengalami luka bakar serius, Pemda Simelu membantu memindahkan mereka ke Rumah Sakit Adam Malik Medan.
"Setelah dirawat dua bulan di sana, kami kembali ke Simelu dan melanjutkan perawatan di RS Sinabang selama satu setengah bulan. Setelah itu, kami baru dibolehkan pulang. Namun kontrol masih terus dilakukan pihak RS Sinabang."
Waktu terus berjalan. luka bakar yang dialami kedua putrinya memprihatinkan dirinya kendati, kata Rasmidin, ia tetap percaya bahwa selalu ada hikmah dan kasih sayang Allah SWT di balik musibah yang diderita dirinya dan anak-anaknya selama berbulan-bulan ini.
Terdorong oleh keinginan kuat untuk mengurangi derita fisik dan psikis kedua "buah hatinya" itu, Rasmidin memberanikan diri menulis apa yang disebutnya "proposal permohonan" ke sembilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beroperasi di Pulau Simelu sejak bencana Tsunami 2004.
"Alhamdulillah, dari sembilan proposal itu, ternyata LSM Australia (ROMAC) yang paling cepat menanggapi proposal saya. Alhamdulillah, realisasinya sudah terlaksana dengan baik sehingga kami tiba di Australia ini. Kondisi luka bakar yang saya derita sebenarnya lebih parah dari anak-anak saya," ujarnya .
Di antara warga Indonesia yang memberikan perhatian atas nasib keluarga Rasmidin adalah Krisantini.
Menurut dia, luka bakar yang dialami Rafika dan Atun tampak "merusak wajah mereka".
"Selasa depan (8/5) mereka masih mendapatkan pemeriksaan (dokter). Seninnya (14/5) Insya Allah operasi tahap satu dimulai," katanya.
Informasi yang dihimpun dari komunitas Indonesia di Brisbane menyebutkan, beberapa warga Indonesia secara suka rela menemani Rasmidin dan anak-anaknya saat harus ke rumah sakit, serta mendampingi mereka ketika bertemu dokter.
Bahkan, para jamaah Komunitas Muslim Indonesia di Brisbane (IISB) terus berupaya mengumpulkan bantuan bagi keluarga Rasmidin melalui "internet banking bank ANZ, IISB SOCIAL, BSB : 014281, Account Number : 565909529."
Bagi ROMAC, Rafika dan Atun masuk dalam kategori apa yang diistilahkan para pegiat organisasi ini sebagai "the forgotten children of the world" (anak-anak dunia yang terlupakan).
Konsep ROMAC sendiri, seperti terungkap dalam situs resmi organisasi ini, lahir pada Maret 1985 ketika Barrie Cooper, mantan Presiden Rotary Club Kangaroo Plat, datang ke Labassa, Fiji, bersama satu tim dokter bedah Australia.
Dari kunjungannya itu, ia mendapati betapa kondisi medis di negara-negara sedang berkembang, seperti Fiji, tidak mampu membantu anak-anak yang membutuhkan operasi untuk memperbaiki wajah mereka yang rusak akibat kecelakaan atau musibah sehingga menjadikan mereka "tersembunyi dari masyarakatnya".
Sejak kelahirannya, ROMAC telah membantu lebih dari 300 orang anak dari 19 negara. Semunya telah kembali ke dalam keluarga mereka dan membangun kembali kehidupannya.
Kini, selain Rafika dan Atun, sedikitnya ada enam anak asing yang sedang dirawat di berbagai rumah sakit di Australia atas bantuan organisasi ini.
Mereka adalah Fakapelea Tafake dari Nauru (dirawat di Royal Children's Hospital, Melbourne 2007), Lin Zhi Ying dari RRC (RS Canberra 2007), Pang Ting Y Loi (Vietnam, 2007 ), Jasper Uepa (Nauru, 2007), Wang Zhi Mei (RRC, RS anak di Westmead, 2006), dan Penfanio Remiro (Timor Leste, Royal Children's Hospital, Melbourne, 2006).
Rasmidin mengatakan, ia tidak memiliki apa pun untuk dapat membalas kebaikan banyak pihak yang telah membantunya.
"Kepada semua pihak yang telah membantu kami, seperti PMI Simelu, Palang Merah Australia, ROMAC yang memfasilitasi pengobatan dan perjalanan kami ke Australia, keluarga yang kami tempati rumahnya, Pemda Kabupaten Simelu, dan saudara-saudara Indonesia yang turut menghibur dan memberi kami semangat hidup, saya ucapkan terima kasih. Syukur kami pun tak pernah putus kepada Allah SWT," kata Rasmidin.
Rasmidin pun berkeinginan untuk bisa membawa sesuatu yang berguna dari sepenggal perjalanan hidupnya di Brisbane.
"Semangat saya besar sekali untuk bisa membawa sesuatu yang berguna bagi keluarga saya kelak setelah kembali ke Simelu. Yang saya maksud dengan sesuatu yang berharga itu adalah pendidikan bahasa Inggris kepada anak-anak saya dan saya diri," katanya.
"Di Simelu, orang yang bisa berbahasa Inggris sangat-sangat langka. Baru ada sedikit perbaikan setelah NGO (LSM) asing masuk ke Simelu. Pak Torin dan Istrinya yang bisa berbahasa Indonesia membantu saya untuk mulai belajar bahasa Inggris itu," katanya.
Persaudaraan kemanusiaan yang tak mengenal perbedaan sosio-budaya dan politik telah membawa Rasmidin dan keluarganya ke Australia demi masa depan kedua putrinya.
*) dipublikasi ANTARA pada 5 Mei 2007
No comments:
Post a Comment