Oleh Rahmad Nasution
Pembunuhan politik terhadap mantan perdana menteri Pakistan Benazir Bhutto (54) di kota Rawalpindi hari Kamis (24/12) menuai kemarahan rakyat Pakistan dan kutukan para pemimpin dunia. Tak terkecuali Perdana Menteri Australia Kevin Rudd.
Kutukan dan kemarahan dunia terhadap pelaku penembakan dan pihak-pihak yang berada di balik aksi serangan yang menewaskan Bhutto dan 16 orang lainnya itu adalah hal yang wajar.
Namun Australia tidak cukup hanya mengeluarkan pernyataan berisi kutukan. Insiden penembakan terhadap Bhutto yang diikuti aksi bom bunuh diri oleh pelakunya itu juga telah mendorong Canberra memperbaharui "peringatan perjalanan" (travel advisory) bagi Pakistan.
Sehari setelah terjadinya insiden itu, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) di Canberra langsung mengeluarkan "travel advisory" baru yang antara lain meminta warganya di Pakistan yang khawatir akan kondisi keamanan untuk segera meninggalkan negara itu.
Bagi yang akan mengunjungi Pakistan, mereka diminta untuk mempertimbangkan kembali rencananya itu mengingat situasi keamanan yang tidak menentu serta tingginya ancaman serangan baru teroris dan kemungkinan pecahnya kekerasan bernuasan SARA di negara itu.
Dalam "travel advisory" baru itu, DFAT menempatkan seluruh wilayah Pakistan dalam status "pertimbangkan kembali keperluan untuk berkunjung". Status ini hanya terpaut satu tingkat di bawah status "larangan bepergian sama sekali".
Terhadap daerah-daerah seperti Balukistan, Provinsi Perbatasan Baratlaut, wilayah-wilayah yang secara administratif dikuasai suku-suku maupun wilayah-wilayah perbatasan India-Pakistan, DFAT memberlakukan pelarangan total untuk berkunjung.
Warga Australia pun diminta untuk menjauhi aksi-aksi demonstrasi dan rapat-rapat umum guna menghindari tindak kekerasan yang setiap saat bisa saja terjadi. Sebaliknya DFAT meminta warganya untuk tetap tinggal di rumah di daerah-daerah yang mereka nilai aman.
Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian aksi kekerasan terus terjadi di negara Asia Selatan itu.
Pembunuhan terhadap Bhutto oleh pelaku bom bunuh diri yang juga menewaskan 16 orang lainnya saat dia menghadiri kampanye Pemilu di kota Rawalpindi itu merupakan bagian dari lingkar kekerasan yang terus mendera Pakistan sejak Juli lalu.
Sejak 12 Juli 2007, dilaporkan lebih dari 400 orang, sebagian besar polisi dan tentara, tewas dalam serangkaian insiden serangan bom bunuh diri dan penembakan.
Mengutip sumber-sumber Pemerintah Pakistan, Deplu Australia menyebutkan bahwa warga negara asing, kantor-kantor perwakilan negara sahabat, termasuk konsulat Australia, maupun hotel-hotel internasional di negara itu masuk dalam incaran kelompok ekstrim.
Dalam penilain DFAT, situasi keamanan di Pakistan "berbahaya dan dapat lebih memburuk" di tengah maraknya laporan yang layak dipercaya tentang adanya rencana serangan-serangan baru para teroris di negara itu.
Sejauh ini, Canberra telah memutuskan untuk menutup sementara waktu kantor konsulatnya di Karachi karena alasan keamanan.
Terkait dengan nasib tragis Bhutto itu, reaksi PM Rudd tidak hanya terbatas pada ikut mengutuk aksi pembunuhan tersebut tetapi juga mengajak Kriket Australia (CA) untuk mendiskusikan rencana tim kriket Australia bertanding ke Pakistan Februari 2008.
PM Kevin Rudd memandang serangan terhadap mantan perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah negara Islam itu sebagai tindakan pengecut dan perilaku setan.
Ia juga menggambarkan pembunuhan yang menurut jaringan Stasiun TV Pakistan, ARY, didalangi oleh Kelompok Al Qaidah pimpinan Usamah bin Laden itu sebagai "serangan terhadap demokrasi dan stabilitas Pakistan".
Namun di atas semua itu, rencana kunjungan tim kriket Australia ke Pakistan Februari 2008 memunculkan keprihatinannya.
"Keprihatinan kami yang paling utama dan pertama sama dengan CA, yakni keselamatan dan keamanan tim kriket Australia," kata PM Rudd.
Langkah PM Rudd mengajak CA membicarakan perihal rencana kunjungan tim kriket negara itu ke Pakistan maupun keputusan DFAT memperbaharui "travel advisory" mencerminkan tanggungjawab pemerintah terhadap keselamatan dan keamanan warga negaranya.
Masalah keselamatan dan keamanan warga negara Australia di luar negeri memang sudah sejak lama menjadi prioritas Pemerintah Australia terlepas dari siapa yang berada di tampuk kekuasaan.
Bahkan demi "menjaga warga Australia di luar negeri", para diplomat negara itu harus rela untuk tetap terjaga di malam hari.
Diplomasi untuk keselamatan warga
Pakar Studi-Studi Strategis Universitas Nasional Australia (ANU) Hugh White dalam laporan risetnya yang dipublikasikan Lembaga Kajian Kebijakan Internasional, Lowy Institute, Oktober lalu, mengatakan perlindungan dan pertolongan kepada para warga Australia di luar negeri sudah menjadi tuntutan kerja paling utama bagi para diplomat negara itu.
Dengan kata lain, kerja-kerja kekonsuleran tampaknya menjadi "dunia diplomasi baru" bagi Australia karena telah bergerak ke pusat prioritas DFAT di Canberra dan misinya di luar negeri.
Dalam kasus Pakistan, sejauh ini belum jelas langkah darurat apa yang akan diambil Canberra terhadap para warganya jika kondisi keamanan terus memburuk.
Hanya saja, menurut White, dalam beberapa krisis besar dunia yang pernah terjadi, peranan para diplomat Australia di luar negeri terjun dalam upaya evakuasi para warganya tampak nyata.
Beberapa kasus itu adalah pengevakuasian para warga Australia dari wilayah selatan Lebanon selama Perang Israel-Hizbullah 2006, penanganan kasus penculikan Douglas Wood di Irak April 2005, pemberian bantuan kepada warga Australia yang menjadi korban bencana tsunami 2004, dan penyelamatan para warga Australia yang menjadi korban serangan teroris di Bali tahun 2002 dan 2005.
"Operasi-operasi masif semacam ini melibatkan belasan staf selama berminggu-minggu ... Banyak yang bisa bicara dari pengalaman pribadi bahwa dukungan dan bantuan kekonsuleran DFAT Australia 'kelas satu'," katanya.
Namun kapasitas kantor-kantor perwakilan Australia di luar negeri terbatas untuk memenuhi tuntutan misi kekonsuleran ini.
Kondisi ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya jumlah diplomat dan petugas kekonsulerannya di luar negeri serta kenyataan bahwa misi evakuasi para warganya dari daerah-daerah berbahaya terbukti tidak bisa dilakukan sendiri oleh Australia.
Dalam laporan risetnya itu, White mengambil pengandaian terjadinya krisis sipil maupun militer di Jakarta. Dalam kondisi demikian, ia melihat Pemerintah Australia tidak berdaya mengeluarkan seluruh warganya dari Jakarta tanpa bantuan aktif TNI.
Pengalaman Badai Katrina di Amerika Serikat (AS) tahun 2005 membuktikan bagaimana para diplomat Australia di negara adidaya yang menjadi sekutu terdekatnya itu tidak berdaya menolong warga Australia yang terkepung dan menderita di wilayah bencana, katanya.
Masalahnya adalah mereka tidak bisa seenaknya mengerahkan para personil maupun aset-aset yang dimiliki Australia tanpa seizin pemerintah negara tuan rumah karena Australia tetap harus tunduk pada undang-undang dan kebijakan negara bersangkutan.
Kembali ke masalah krisis politik di Pakistan, terlepas dari bagaimana langkah-langkah antisipatif untuk menyelamatkan warganya jika kondisi memaksa, Australia agaknnya khawatir dengan implikasi dari kondisi yang tidak stabil menjelang Pemilu 8 Januari 2008.
Di mata Pemerintah Australia, demokrasi dan penegakan hukum di Pakistan merupakan dua hal penting untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di negara itu.
Tapi, seburuk apapun kondisi Pakistan, Australia tampaknya sulit menafikan peran dan posisi strategis Karachi dalam perang melawan Taliban dan Al Qaidah di Afghanistan.
Setidaknya sikap Australia itu tercermin dari apa yang pernah disampaikan Mantan Menteri Luar Negeri Alexander Downer pada 6 November lalu menanggapi langkah Presiden Pervez Musharraf memberlakukan keadaan darurat pada 3 November.
Ketika itu, Downer menegaskan bahwa Canberra tidak akan menangguhkan bantuan luar negerinya kepada Pakistan. Status keadaan darurat itu sendiri telah dicabut Musharraf.
Mengapa Australia enggan menangguhkan bantuan luar negerinya kepada Pakistan? Argumentasi Downer ketika itu tidak lain adalah bahwa penangguhan tersebut justru merupakan langkah yang kontra produktif terhadap keamanan pasukan Australia di Afghanistan.
Bantuan luar negeri Australia bagi pembangunan wilayah barat Pakistan baru dimulai guna meningkatkan kehidupan ekonomi rakyat di sana yang justru penting untuk mewujudkan tingkat stabilitas yang lebih besar.
Di wilayah barat Pakistan itu, para pengikut Taliban dan beberapa elemen kelompok Al Qaidah bermukim.
Menurut Downer, Australia sepatutnya bisa membantu lebih banyak sehingga tercipta lapangan kerja bagi rakyat di sana. Kondisi demikian akan berdampak positif bagi perlindungan pasukan Australia di wilayah Afghanistan.
"Jadi prioritas pertama kami adalah menjaga keamanan bagi pasukan Australia. Jadi kami tidak akan menarik bantuan jika konsekuensi dari penarikan bantuan itu justru melemahkan perjuangan melawan para ekstrimis dan teroris di Pakistan yang dapat saja menyeberang ke Afghanistan," kata Downer.
Bagaimana pun Pakistan merupakan sekutu dekat AS dan Barat dalam apa yang disebut perang melawan terorisme di kawasan Asia Selatan, khususnya Afghanistan.
Dalam perang yang tak berkesudahan ini, Australia menyumbang sekitar 900 orang tentaranya di Afghanistan.
Kondisi politik dan keamanan Pakistan yang tidak stabil ini menyisakan pekerjaan rumah tidak hanya bagi pemerintah dan rakyat Pakistan tetapi juga Australia bagi kepentingan nasional yang berbeda.
*) dipublikasi ANTARA pada 28 Desember 2007
No comments:
Post a Comment