Wednesday, September 9, 2009

DENDAM "BALIBO FIVE" BELENGGU HUBUNGAN INDONESIA-AUSTRALIA

Kasus kematian lima wartawan Australia di Balibo, Timor Timur, tahun 1975 kembali menguji ketahanan fondasi hubungan bilateral RI-Australia setelah Polisi Federal Australia (AFP) resmi menyelidiki tuduhan kejahatan perang dalam kasus yang populer disebut "Balibo Five" ini.

Berbagai media cetak dan elektronika Australia menjadikan investigasi AFP terhadap kasus "Balibo Five" serta pandangan publik Australia dan tanggapan pemerintah dan parlemen Indonesia atas keputusan AFP itu salah satu berita utama mereka pada Rabu dan Kamis.

Dalam pernyataan persnya, AFP menyebutkan investigasi kasus "Balibo Five" sudah dimulai pada 20 Agustus 2009 dan pihak keluarga lima wartawan yang tewas tahun 1975 ini sudah diberitahu pada 8 September 2009.

Namun, menurut AFP, penyelidikan terhadap tuduhan kejahatan perang yang terjadi di masa lalu ini tidak mudah karena para saksi dan bukti berada di luar negeri.

"Sekiranya hasil investigasi menunjukkan adanya cukup materi untuk menyusun bukti ringkas tindak kejahatan atau kemungkinan nyata tindak kejahatan, AFP akan merujuk informasi yang ada ke Direktur Penuntut Umum Persemakmuran (CDPP)," kata AFP.

Setelah itu, pertimbangan lanjutan atas kasus ini diserahkan kepada CDPP sesuai dengan Kebijakan Prosekusi Persemakmuran (PPC).

AFP melakukan penyelidikan terhadap kasus "Balibo Five" ini setelah Kantor Kejaksaan Agung Persemakmuran Australia menerima hasil putusan Pengadilan Coroner New South Wales tentang kematian Brian Peters, salah satu anggota "Balibo Five", pada 16 November 2007.

Sementara itu, Minister Counselor Fungsi Pensosbud KBRI Canberra, Raudin, mengatakan kepada ANTARA, sikap resmi KBRI Canberra atas masalah "Balibo Five" sejalan dengan apa yang telah disampaikan Juru Bicara Deplu RI di Jakarta, Teuku Faizasyah.

Sebelumnya, Juru bicara Deplu, Teuku Faizasyah, mengatakan, kasus kematian lima wartawan asing di Timor Timur tahun 1975 itu sudah selesai dengan kesimpulan bahwa kematian mereka karena kecelakaan.

"Indonesia tidak melihat adanya suatu kepentingan untuk membuka kasus ini lagi. Sudah disimpulkan bahwa kematian kelima wartawan asing tersebut adalah karena kecelakaan bukan disengaja" katanya.

Pada Juli dan Agustus lalu, memori publik Australia tentang "Balibo Five" sudah dibangun lewat suguhan film Balibo di Festival Film Internasional Melbourne dan Brisbane.

Namun opini publik negara itu tentang pihak yang bertanggungjawab terhadap kematian lima wartawan tahun 1975 ini sudah terbangun sejak adanya kesimpulan Pengadilan Glebe Coroners NSW pada 16 November 2007 bahwa personil TNI adalah pihak yang membunuh lima wartawan Australia tersebut.

Kesimpulan pengadilan koroner yang digelar untuk melihat kasus kematian Brian Peters itu diungkapkan wakil Pengadilan Koroner NSW, Dorelle Pinch.

Pinch mengatakan kepada pengadilan bahwa kelima wartawan tersebut tidak tewas dalam kontak tembak antara personil TNI dengan Fretilin tetapi dibunuh atas perintah Komandan Lapangan Kapten Yunus Yosfiah.

Whitlam: bukan TNI

Bertolak belakang dengan kesimpulan pengadilan, mantan Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, yang memberikan keterangan di pegadilan itu pada 8 Mei 2007, mengatakan, dia tidak pernah melihat adanya dokumen apa pun yang menunjukkan TNI memerintahkan pembunuhan terhadap kelima wartawan tersebut.

Menurut Whitlam, sebulan sebelum insiden Balibo itu terjadi, dia telah mengingatkan salah seorang dari lima wartawan tersebut bahwa pemerintah tidak punya cara untuk melindungi mereka saat mereka pergi ke Timtim.

Wartawan itu tetap saja pergi kendati ia telah menasihatinya, kata Whitlam dalam kesaksiannya di pengadilan Koroner NSW, Sydney, itu.

Whitlam mengaku pertama kali mendengar kabar kematian lima wartawan itu lima hari setelah terjadinya insiden berdasarkan "satu pesan militer Indonesia yang disadap" yang menyebutkan bahwa ada empat tubuh warga kulit putih di Balibo.

Namun dia tidak melihat adanya dokumen atau bahan apa pun yang menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia sedang merencanakan pembunuhan para wartawan itu dan tidak pula ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa para wartawan itu sengaja dijadikan target eksekusi.

Sejak insiden yang menewaskan Greg Shackleton, Tony Stewart, Brian Peters, Malcolm Rennie, dan Gary Cunningham itu terjadi 34 tahun lalu, Yunus Yosfiah, mantan perwira TNI yang pernah bertugas di Timtim, terus terseret ke dalam pusaran masalah ini.

Tuduhan ini sudah berulang kali dibantah mantan Menteri Penerangan semasa pemerintahan Presiden BJ Habibie( 1998-99) ini.

Seperti dikutip Kompas edisi 23 Februari 2001, Letjen (Purn) Yunus Yosfiah mengatakan, semua kesaksian dalam laporan tim PBB mengenai masalah tewasnya lima wartawan Australia itu adalah "bohong belaka".

"Semua kesaksian itu bohong. Saya tidak pernah berjumpa dengan wartawan-wartawan itu secara langsung, apalagi membunuh mereka," kata Yunus Yosfiah yang ketika peristiwa itu terjadi masih berpangkat kapten.

Menurut dia, kasus "Balibo Five" tersebut pun sebenarnya sudah dianggap selesai pada 1996. Waktu itu, pemerintah Australia menganggap lima wartawan itu tertembak dalam pertempuran. Tetapi pada 1998, muncul kesaksian baru yang mendorong Pemerintah Australia untuk menginvestigasi ulang.

"Hasilnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan laporan pertama itu," katanya.

*) My news for ANTARA on Sept 10, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity