"The Burning Season", film dokumenter karya Cathy Henkel yang ditayangkan di berbagai kota di Australia, termasuk di teater kampus Universitas Queensland (UQ) 13 Agustus lalu, menyuguhkan sisi kelam sawit Indonesia.
Betapa tidak, film yang mengangkat isu perubahan iklim dengan fokus kisah pertarungan anak manusia dan alam itu menyuguhkan fakta tentang degradasi hutan tropis Indonesia akibat kebakaran serta perluasan perkebunan sawit nasional.
Dari film dokumenter (2008) ini, terungkap bagaimana pertarungan antara kepentingan para petani sawit miskin di Provinsi Jambi seperti Achmadi yang tidak menyadari dampak membakar untuk membersihkan lahan baru bagi tanaman sawitnya bagi kerusakan iklim global serta dampak deforestasi terhadap nasib orang utan.
Akibat musim kebakaran semak belukar dan hutan di Kalimantan setiap tahun, termasuk pembukaan lahan perkebunan sawit, ribuan ekor orang utan tercerabut dari habitatnya dan mati terbakar. Di antara aktivis lingkungan yang memberi perhatian pada nasib orang utan Kalimanta itu adalah Lone Droscher-Nielsen.
Bersama para sukarelawan di pusat rehabilitasi orang utan yang didirikannya di sebuah daerah di Kalimantan, wanita berkebangsaan Denmark ini menolong ratusan ekor hewan primata korban kebakaran hutan ini.
Film karya Cathy Henkel ini hanyalah salah satu cara aktivis lingkungan mancanegara mengungkapkan keprihatinan dan kepeduliannya pada nasib hutan tropis Indonesia yang cenderung tak pernah berhenti dari ancaman kerusakan akibat kebakaran dan eksploitasi ekonomi.
Kalangan aktivis mahasiswa Universitas Nasional Australia (ANU) yang tergabung dalam "Australian Orangutan Project" (Proyek Orangutan Australia) misalnya menyampaikan keprihatinannya dengan menggelar aksi kampanye publik di kampus.
Seperti yang pernah disaksikan penulis, para aktivis ANU itu menggelar poster dan menyediakan selebaran maupun brosur. Pada intinya mereka meminta masyarakat supaya ikut memerhatikan nasib Orangutan yang terancam punah akibat pembalakan hutan guna membuka lahan perkebunan sawit di Kalimantan.
Menurut Peneliti senior ANU, Dr.John McCarthy, perluasan perkebunan sawit di Indonesia bak sebuah pisau bermata dua.
Di satu sisi, keberadaan perkebunan-perkebunan sawit itu telah memberikan "berkah" kepada sebagian pihak tetapi mereka juga memberi dampak sosial-ekonomi dan lingkungan yang besar terhadap kelestarian hutan di Indonesia.
Ketua tim penelitian bersama ANU dan Universitas Queensland tentang perkebunan sawit dan perubahan agraria di daerah-daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia itu mengibaratkan perkebunan sawit ini sebagai "penggalian emas" massal di era modern yang memberikan keuntungan secara finansial kepada sebagian orang.
Penyebab utama deforestasi
Hanya saja, jika semua pihak serius merespons tantangan pemanasan global saat ini, diperlukan pemahaman yang sebaik mungkin tentang fenomena perkebunan minyak kelapa sawit ini mengingat kehadirannya menjadi penyebab utama deforestasi diIndonesia, kata ketua proyek riset yang didanai Dewan Riset Australia ini.
Ia memperkirakan jutaan hektar hutan Indonesia telah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Di sekitar areal perkebunan itu, hidup puluhan juta orang.
Selain ikut merusak hutan, perluasan perkebunan sawit di Indonesia juga menimbulkan ketimpangan sosial. Karena itu, menurut peneliti dari Sekolah Ekonomi dan Pembangunan Crawford ANU ini, perlu ada pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu di seputar "ledakan" pertumbuhan perkebunan kelapa sawit.
"Seandainya komunitas global ingin mengurangi kerusakan hutan, penting sekali bagi kita memahami isu-isu di seputar 'ledakan' dalam pertumbuhan perkebunan kelapa sawit," katanya.
Permintaan China dan India akan minyak kelapa sawit yang cenderung meningkat serta instabilitas harga komoditas bahan pangan dan bahan bakar nabati (bio-fuel) semakin mendukung prospek ekonomis komoditas ini. Bahkan, minyak sawit kini menjadi minyak terperbaharui kedua terbesar yang dikonsumsi di dunia.
"Per unit wilayahnya, sawit merupakan minyak nabati tertinggi di dunia. Ini benar-benar menguntungkan mereka yang terlibat (dalam bisnis ini). Pada tahun lalu saja, harga produk ini pun naik tiga kali lipat," kata McCarthy.
Australia sendiri merupakan negara pengimpor minyak mentah sawit (CPO). Seperti pernah disampaikan Atase Perdagangan RI di KBRI Canberra, Retno Kusumo Astuti, permintaan importir CPO Australia mencapai 30 ribu ton per bulan.
Indonesia berpeluang memenuhi kebutuhan para importir CPO Australia sebesar 30 ribu ton CPO per bulan untuk masa kontrak selama tiga tahun itu. "Hanya saja, kita mungkin belum bisa memenuhinya karena destinasi (tujuan) ekspor CPO kita selama ini bukanlah Australia."
Sejauh ini Indonesia hanya memasok sekitar dua persen dari kebutuhan pasar Australia atau kalah jauh dari Malaysia yang memasok lebih dari delapan puluh persen. "Posisi Indonesia berada di urutan kedua setelah Malaysia," kata Retno.
Dilihat dari aspek ekonomi semata,perluasan perkebunan sawit nasional jelas menjanjikan pendapatan yang besar kepada pemerintah, pengusaha dan pemilik lahan karena peluang ekspor CPO tetap terbuka lebar.
*) My news article for ANTARA on Aug 31, 2009
No comments:
Post a Comment