Wednesday, April 22, 2009

AUSTRALIA HARAPKAN RI PERTAHANKAN GARUDA DI DARWIN

Pemerintah Negara Bagian Northern Territory (NT), Australia, berupaya keras mempertahankan keberadaan Garuda Indonesia di Darwin yang sudah hampir 30 tahun dengan mengajak bicara Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil mengenai penutupan rute penerbangan Darwin-Denpasar mulai Rabu (22/4).

"Pak Menteri Hubungan Asia Northern Territory, Christopher Bruce Burns, sudah menelepon Pak Meneg BUMN Sofyan Djalil Rabu sore waktu Darwin mengenai masalah Garuda," kata Sekretaris II Fungsi Pensosbud Konsulat RI Darwin, Arvinanto Soeriaatmadja, kepada ANTARA yang menghubunginya, Rabu malam.

Perihal pembicaraan telepon Menteri Burns dengan Meneg BUMN Sofyan Djalil mengenai penutupan rute penerbangan Darwin-Denpasar Garuda itu disampaikan Pompea Sweet, penasehat Menteri Burns, kepadanya.

"Pada intinya, pemerintah negara bagian NT berharap besar agar Garuda tidak meninggalkan Darwin dengan pertimbangan bahwa Garuda sudah hadir selama hampir tiga puluh tahun dan selama itu berhasil membangun jaringan dan keakraban dengan masyarakat Australia di sana," kata Arvinanto.

Mengutip pendapat Pompea Sweet, Arvinanto mengatakan, Darwin merupakan "pintu" Australia ke Asia yang layak dimanfaatkan Garuda Indonesia karena banyak warga Australia dan Indonesia yang sudah dan akan terus memanfaatkan jasa penerbangan Garuda.

"Penasehat Menteri Burns ini khawatir kalau Garuda ditutup, maka tidak selalu mudah bagi Garuda untuk meraih kembali kepercayaan konsumen saat mau membuka lagi rute ini. Dia berharap menajamen Garuda tidak hanya melihat kondisi saat ini tetapi sepatutnya juga melihat masa depan," katanya.

Selain sebagai menteri hubungan Asia, Dr Christopher Bruce Burns MLA adalah juga menteri urusan bisnis, pariwisata, perdagangan dan dukungan pertahanan di pemerintahan negara bagian NT.

Keputusan manajemen Garuda di Jakarta menutup rute penerbangannya ke Darwin itu juga disayangkan banyak warga Australia dan Indonesia di kota itu. Mereka melayangkan surat-surat pembaca ke Suratkabar "NT News" yang pada intinya mengharapkan Garuda tetap mempertahankan rute Darwin-Denpasar, katanya.

"Di antara yang menyayangkan penutupan itu adalah mereka yang sudah selama sepuluh tahun biasa naik Garuda saat ke Indonesia," kata Arvinanto.

Mereka melihat faktor "kelesuan ekonomi" sepatutnya tidak dijadikan alasan menghapus rute penerbangan Garuda Indonesia ke Darwin karena kondisi ekonomi yang dalam tiga atau empat bulan terakhir memengaruhi kinerja Garuda juga dialami oleh maskapai-maskapai penerbangan lain di kota terbesar di Australia Utara itu.

"Bahkan maskapai penerbangan Qantas sendiri terpaksa merumahkan ribuan orang karyawannya, termasuk pilot akibat kelesuan ekonomi ini," katanya.

Sebelumnya, Direktur Promosi Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) I Gde Pitana, juga menyayangkan keputusan manajemen Garuda menutup rute penerbangan Darwin-Denpasar karena kontra-produktif bagi upaya gencar Indonesia menarik kunjungan 480 ribu turis Australia tahun ini.

"Sangat disayangkan jika memang ada keputusan penutupan itu karena kita sedang gencar menggarap pasar Australia," katanya saat ditemui ANTARA di sela acara misi penjualan (sales mission) pariwisata Indonesia bertajuk "Bali and Beyond" di Hotel Hilton Brisbane, 16 April lalu.

Keputusan manajemen Garuda Indonesia di Jakarta itu bertolak-belakang dengan semangat besar dua maskapai penerbangan Australia dalam menambah frekuensi penerbangan langsung mereka ke Denpasar, Bali, dari berbagai kota utama di negara itu karena tuntutan pasar yang besar, katanya.

Menurut Pitana, sebaiknya manajemen Garuda tidak langsung menutup tetapi mengurangi frekuensi penerbangan Darwin-Denpasar karena faktor aksesabilitas dan komponen penerbangan yang "sangat tinggi" dalam pengeluaran setiap turis asing yang berkunjung merupakan dua hal yang sepatutnya dilihat.

Mengundang keprihatinan

Perihal keputusan penghentian operasi Garuda Indonesia di Darwin mulai 22 April itu sebelumnya juga telah mengundang keprihatinan banyak warga Indonesia dan Konsul RI Darwin, Harbangan Napitupulu.

"Terus terang, banyak warga kita yang kecewa dengan keputusan (manajemen) Garuda menghentikan penerbangan langsung Darwin-Denpasar ini. Menurut saya, sepatutnya rute penerbangan Garuda ini jangan ditutup tetapi dikurangi dari tiga kali menjadi dua kali seminggu seperti kondisi sebelum Mei 2008," katanya.

Reaksi terkejut atas keputusan mendadak manajemen Garuda Indonesia di Jakarta menutup rute Darwin-Denpasar itu juga datang dari pejabat pemerintah negara bagian Northern Territory (NT) karena kehadiran Garuda sejak 1980 di Darwin berdampak positif terhadap penguatan hubungan Indonesia-NT, kata Harbangan.

Alasan normatif penghentian operasi maskapai penerbangan nasional yang membawa simbol kenegaraan RI dari Australia Utara itu adalah "kelesuan ekonomi" walaupun maskapai penerbangan murah Australia, Jet Star dan Virgin Blue, justru menambah frekuensi penerbangannya ke Denpasar, Bali, dari kota-kota utama negara itu.

Dilihat dari kinerja Garuda Indonesia di Darwin, disebutkan bahwa pada 2007-2008, kantor Garuda di ibukota negara bagian Northern Territory itu justru memberikan kontribusi laba bagi perusahaan.

Sejak Juni 2008 hingga sebelum ada keputusan penutupan, Garuda melayani tiga kali penerbangan Darwin-Denpasar per-minggu dengan pesawat Boeing 737-400 berkapasitas 16 kursi kelas bisnis dan 117 kursi kelas ekonomi, yakni setiap Senin, Rabu, dan Jumat.

Pesawat itu berangkat dari Denpasar pada pukul 01.20 dinihari dan tiba di Darwin pada pukul 05.20 pagi (waktu Darwin). Kemudian pesawat yang sama kembali terbang ke Denpasar dari Bandar Udara Internasional Darwin pada pukul 07.30 waktu setempat.

Dengan adanya keputusan Garuda menutup operasinya di Darwin itu berarti sudah dua kota utama Australia yang tidak lagi diterbangi maskapai penerbangan milik negera itu setelah Brisbane sejak awal 2007.

Keputusan manajemen Garuda menutup kantornya di Darwin itu dibuat ketika Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI menargetkan kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia sebanyak 480 ribu orang pada 2009.

*) My news for ANTARA on April 22, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity