Oleh Rahmad NasutionRezim waktu terus berjalan mendekati 8 Juli 2009, tanggal yang telah disepakati Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai momen pesta rakyat untuk menentukan presiden dan wakil presiden baru Indonesia untuk lima tahun ke depan.
Berbagai hasil survei yang mengukur tingkat peluang para tokoh nasional yang namanya dimasukkan dalam daftar calon presiden RI 2009 pun terus bermunculan. Salah satunya adalah jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) di 33 provinsi pada 2-14 Mei 2008.
Hasil survei yang diikuti 1.225 orang responden dengan teknik "multi-stage random sampling" itu menunjukkan, 51 persen responden melihat pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai "pasangan ideal" calon presiden-wakil presiden RI periode mendatang.
Sebaliknya, jika SBY tetap berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK), pasangan ini justru berada di posisi ke-11 karena, seperti terungkap dalam hasil survei LSN itu, banyak responden yang menganggap JK "tidak sepenuh hati mendukung kebijakan SBY" dan "Partai Golkar-Partai Demokrat tidak lagi seia sekata."
Tapi, bagaimana Indonesianis asing memandang sosok SBY dan peluangnya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang?
Di mata Indonesianis asing, SBY yang kini berkuasa dan dipastikan ikut bertarung dalam Pemilihan Presiden RI 2009 merupakan calon "terbaik" yang dimiliki Indonesia saat ini dan ia berpeluang besar untuk kembali menang.
Penilaian itu pernah disampaikan Peneliti Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibea Belanda, Prof.Gerry van Klinken, dan Indonesianis senior Australia, Ken Ward, jauh sebelum demam Pemilu mengusik kehidupan banyak orang Indonesia.
Di mata Prof Klinken, sosok SBY adalah "harapan terbaik Indonesia" dalam pemberantasan korupsi walaupun popularitas yang diraihnya dari "ketegasannya" memerangi korupsi tidak serta merta akan memuluskan ambisi politiknya untuk kembali bisa memenangkan Pemilu 2009.
Dasar argumentasi Indonesianis Belanda itu bertumpu pada "realitas politik" Partai Demokrat (PD) yang dianggapnya masih "sangat kecil" untuk bisa menopang ambisi SBY mempertahankan kursi presiden RI dan tidak cukup mampu memenuhi aturan main baru Pemilu 2009.
Namun kalkulasi Prof.Klinken tentang kinerja politik Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 tidak mengurangi pandangan optimistis Indonesianis senior Australia, Ken Ward, tentang peluang SBY dalam Pilpres.
Dalam tulisannya "Dealing with a Democratic Indonesia: the Yudhoyono Years" yang diterbitkan Lembaga Kajian Kebijakan Internasional yang berpusat di Sydney, "Lowy Institute" (2007), Ward justru melihat peluang besar SBY untuk kembali menang jika ia tetap berpasangan dengan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla.
Analisa politik Ward itu beranjak dari asumsi bahwa JK tidak mencalonkan diri sebagai calon presiden karena dia tidak sepopuler SBY. Jika JK berani maju sebagai calon presiden, keberaniannya itu justru membahayakan karir politiknya karena bisa saja publik menganggapnya sosok yang "tidak setia dan oportunis", katanya.
Ancaman tidak besar
Pengamat politik yang sudah puluhan kali mengunjungi Indonesia itu juga tidak melihat besarnya ancaman para calon lain terhadap peluang kemenangan pasangan SBY-JK jika kedua tokoh yang mewakili kekuatan Jawa-luar Jawa ini masih bersatu.
Para "pendatang" baru maupun politisi senior seperti Megawati Soekarnoputri dan Jenderal (Purn) Wiranto pun diperkirakan Ward belum cukup mampu menggeser SBY jika dia kembali memilih JK sebagai wapres.
Selama masa kepemimpinannya, Ward menilai roda pembangunan Indonesia terus menggeliat sekalipun negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini masih dihadapkan pada persoalan-persoalan domestik yang besar seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Dari aspek pembangunan ekonomi makro, ia melihat pemerintahan SBY-JK mampu membangun dasar-dasar yang kuat walaupun angka pertumbuhan ekonomi masih jauh di bawah pencapaian era pemerintahan Soeharto.
"Lebih dari itu, apakah program desentralisasi yang telah dijalankan beberapa tahun terakhir ini akan dapat mempercepat atau justru memperlambat pertumbuhan ekonomi belum juga jelas," katanya.
Bencana alam dan kecelakaan transportasi yang berulang-kali melanda Indonesia di era pemerintahan SBY-JK semakin menunjukkan "betapa negara ini tidak mudah dikelola", katanya.
Dilihat dari perspektif hubungan Indonesia- Australia, analis politik yang pernah bekerja di Kantor Asesmen Nasional (ANA) Australia selama delapan tahun sejak 1996 itu memandang SBY sebagai seorang nasionalis.
Bahkan rasa nasionalisme itu merupakan salah satu kelebihan SBY yang menonjol. Kelebihan itu pula yang pernah ia tunjukkan kepada Australia dalam kasus pemberian visa proteksi kepada 42 pencari suaka asal Papua tahun 2006.
Walaupun ia seorang nasionalis, SBY juga adalah sosok pemimpin Indonesia yang "memiliki hubungan pribadi yang mudah dengan para pemimpin Barat", kata Ken Ward.
Semasa pemerintah SBY-JK pula, fondasi hubungan Indonesia-Australia semakin kuat yang antara lain ditandai dengan ditandatanganinya deklarasi bersama kemitraan komprehensif kedua negara (2005) dan kerangka kerja sama keamanan bilateral yang dikenal dengan "Perjanjian Lombok" (2006).
*) My news article for ANTARA on Feb 26, 2009

No comments:
Post a Comment