Thursday, August 21, 2008

PEMERINTAH RI JANGAN PERSULIT KEHIDUPAN MAHASISWA TUGAS BELAJAR DI LN

Langkah pemerintah menyediakan beasiswa bagi para dosen universitas negeri dan swasta untuk melanjutkan studi ke jenjang magister dan doktor di luar negeri patut disyukuri namun nilai beasiswa itu hendaknya tidak justru mempersulit kehidupan mereka di tengah tingginya tuntutan keberhasilan studi mereka.

Selain itu , instansi pemerintah terkait juga jangan hanya mendorong para dosen itu untuk mencari "letter of acceptance" (surat tanda diterima) dari universitas yang akan dituju tanpa menyiapkan diri mereka secara matang seperti yang sejak lama dilakukan pengelola beasiswa pemerintah Australia (AusAID).

Harapan itu disampaikan dosen Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya Sitti Maesuri Patahuddin yang juga kandidat doktor Universitas Queensland (UQ), di Brisbane, Selasa, menanggapi isi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Rapat Paripurna DPR di Jakarta 15 Agustus lalu

"Penerima beasiswa Dikti (Pendidikan Tinggi) ternyata hanya menerima sekitar 1.500 dolar Australia per bulan, sedangkan rekan-rekan mereka yang mendapat beasiswa ADS (Australian Development Scholarship) dengan tunjangan keluarga bisa menerima hampir tiga ribu dolar Australia sebulan," kata Sitti Maesuri.

Selain nilai beasiswa yang berbeda, para penerima ADS juga mendapat apa yang disebut "establishment fee" (dana awal yang sekali diterima) untuk membantu mereka membangun kehidupan baru di lingkungan baru mereka dengan dana tersebut, katanya.

"Artinya, para penerima beasiswa AusAID tidak perlu lagi mikir duit. Mereka cukup mikir dan konsentrasi pada belajar saja. Mereka pun digembleng sekian minggu atau sekian bulan di Jakarta dengan program persiapan akademik , multikultural dan bahasa Inggris. Setibanya di kampus pilihannya, mereka masih mendapat EAP (English for Academic Purpose)," katanya.

"Secara teoritis, mahasiswa PhD (program doktor) asal Australia misalnya belajar selama delapan jam (sehari). Kalau mereka belajar selama itu, secara logika, apatah lagi(apalagi, red) para mahasiswa PhD asal Indonesia yang tidak berlatar belakang bahasa Inggris," katanya.

Sepatutnya pemerintah RI tidak membebani para dosen penerima beasiswa Dikti yang kini melanjutkan studinya ke jenjang magister dan doktor, termasuk di universitas-universitas Australia, dengan "hal-hal lain di luar belajar", katanya.

Menurut mantan presiden Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di UQ (UQISA) itu, jika pemerintah mau menyekolahkan siapa pun, termasuk dosen, ke luar negeri, maka patokan besaran beasiswa yang pantas sepatutnya tidak didasarkan pada hitungan biaya hidup per bulan dalam rupiah dan didasarkan pada pengalaman Tanah Air.

"Kalau begini caranya, ya nggak nyambung. Sebagai contoh sewa rumah (di kawasan kampus UQ St.Lucia) 200 dolar per minggu (atau setara Rp1,6 juta ). Mana ada unit tempat tinggal sederhana disewa per minggu Rp1,6 juta ," katanya.

Sebelumnya, dalam pidatonya di depan Rapat Paripurna DPR 15 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, kualitas guru dan dosen akan senantiasa ditingkatkan melalui program peningkatan kualifikasi akademik S1 dan D4 bagi guru dan pendidikan S2 (magister) dan S3 (doktor) bagi dosen.

"Ini adalah konsekuensi dari terpenuhinya amanat konstitusi untuk alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari RAPBN 2009, maka lebih banyak lagi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di semua aspek," katanya.

Seperti pernah disampaikan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, pihaknya menyediakan 1.076 beasiswa pada 2008 bagi para dosen universitas negeri dan swasta di Indonesia untuk melanjutkan studinya pada jenjang magister dan doktoral di luar negeri (LN).

Depdiknas mengirimkan sebanyak 400 dosen ke wilayah Asia, 250 orang ke Australia, dan 300 orang lainnya ke Eropa, katanya.

Persyaratan bagi dosen yang tertarik melamar adalah sudah memperoleh "letter of acceptance" yang masih berlaku dari lembaga dan atau calon pembimbing dari perguruan luar negeri yang berkualitas (diutamakan dari perguruan tinggi negara maju).

Selain itu , mereka diminta melampirkan "copy" ijazah dan transkrip indeks prestasi kumulatif (IPK) yang telah dilegalasi, melampirkan "copy" sertifikat bukti kemampuan Bahasa Inggris (TOEFL Institusional 500, IELTS 6,0) atau bahasa asing lainnya sesuai dengan ketentuan dari perguruan tinggi tujuan masing-masing.

Para pelamar S3 juga harus melampirkan usulan penelitian yang telah disetujui atau setidaknya sudah dikomunikasikan calon pembimbing di perguruan tinggi luar negeri.

*) My news article for ANTARA on August 19, 2008

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity