Oleh Rahmad Nasution
Ambisi itu semakin terlihat 23 Februari lalu saat para menteri pertahanan dan luar negeri
Dalam pertemuan yang diikuti Menhan AS Dr.Robert Gates, Wakil Menlu John Negroponte mewakili Condoleezza Rice yang berhalangan hadir, Menlu Australia Stephen Smith, dan Menhan Joel Fitzgibbon itu, terungkap sejumlah ambisi strategis Canberra itu.
Media setempat melaporkan, Pemerintah
Kedua isu strategis ini tampaknya mendapat sinyal positif dari delegasi AS dalam pertemuan yang juga diikuti Kepala Staf Gabungan AS Laksamana Mike Mullen dan Komandan Armada Pasifik AS Laksamana Timothy Keating.
Menhan Joel Fitzgibbon seperti dikutip ABC mengatakan, ia memanfaatkan pertemuan yang digambarkan Menlu Smith sebagai cermin dari kuatnya kerja sama dan aliansi kedua negara dalam 60 tahun itu untuk menyinggung perihal hambatan di seputar pembelian "F-22 Raptor".
Menhan AS Robert Gates telah menegaskan bahwa pihaknya tidak punya keberatan yang prinsipil namun undang-undang Kongres Amerika melarang penjualan pesawat tempur tercanggih AS yang disebut situs Air Power Australia dapat dilengkapi bom pintar inersial/satelit GBU-32 JDAM itu ke negara asing, termasuk Australia.
Melihat kendala legal formal ini, Menhan Australia Joel Fitzgibbon berjanji menulis
Hasrat besar Menhan Fitzgibbon terhadap pesawat tempur F-22 Raptor ini tidak terlepas dari pertimbangan kemampuan hebat pesawat yang kini dipakai Skuadron Tempur ke-27 Sayap Tempur Pertama Langley, Virginia, AS itu sehingga pas dengan isu peninjauan kembali kemampuan tempur udara Australia oleh kementeriannya.
Keinginan memasukkan F-22 Raptor ke dalam proses peninjauan kembali itu dimaksudkan sebagai satu opsi jika ada keputusan soal pembatalan kontrak pembelian pesawat tempur F/A-18F Super Hornet senilai lebih dari
Isu pembatalan kontrak pembelian F/A-18F dan konsekuensi ongkos pembatalan yang harus ditanggung pemerintah federal Australia itu bergulir menjadi wacana politik setelah pada 18 Februari lalu Menhan Joel Fitzgibbon mengumumkan struktur dan rincian peninjaun kembali pemerintahan Partai Buruh yang kini berkuasa atas kepatutan rencana kemampuan tempur udara Australia hingga 2045.
Peninjauan kembali itu akan membantu pemerintah menilai rencana yang ada sekarang dan menyampaikan pertimbangan tentang kemampuan tempur udara
Menurut Menhan Fitzgibbon, peninjauan kembali itu akan dilakukan dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, dilakukan penilaian terhadap persyaratan kemampuan tempur udara Australia antara tahun 2010 dan 2015, dan kelayakan mempertahankan pesawat tempur F-111 hingga setelah 2010.
Seterusnya dilakukan pula analisa perbandingan pesawat tempur yang ada untuk mengisi ketimpangan yang terjadi akibat penarikan F-111, serta penilaian terhadap status rencana mendapatkan F/A-18 Super Hornet.
Pada tahap kedua, peninjauan kembali itu akan mempertimbangkan tren kekuatan udara di kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2045, dan kemampuan relatif pesawat tempur generasi sekarang maupun generasi ke-empat dan kelima seperti "Joint-Strike Fighter".
Dalam peninjauan kembali tahan dua itu, menurut Menhan Fitzgibbon, tim peninjau juga akan mengkaji F-22 dengan tetap mempertimbangkan masalah industri yang relevan dengan perkembangan kemampuan tempur udara Australia.
Di masa pemerintahan PM Howard, isu pengadaan Super Hornet yang terlanjur disepakati dengan AS itu tidak dapat dilepaskan dari ambisi Angkatan Bersenjata Australia (ADF) mengisi ketimpangan saat pesawat-pesawat F-111 dan "Joint Strike Fighter" dipensiunkan pada 2014.
Bagi Kepala Staf Angkatan Udara Australia, Marsekal Angus Houston, kemampuan tempur Super Hornet "sangat baik" dan sejauh ini tidak ada bandingannya yang lebih baik di kawasan Asia Pasifik.
Di kawasan Asia, analis pertahanan sering membandingkan kemampuan tempur Super Hornet itu dengan pesawat tempur canggih "Sukhoi" buatan Rusia yang sudah memperkuat angkatan udara China, India, Malaysia dan Indonesia.
Kembali ke masalah pembatalan kontrak pembelian Super Hornet. Seandainya benar-benar dilakukan, menurut Pejabat senior Dephan
Dana pembatalan sebesar itu, katanya, harus disiapkan sesuai dengan nilai kontrak yang sejauh ini ada. Biaya itu akan terus membengkak karena semakin lama
Kontrak pembelian Super Hornet yang belakangan memunculkan pertimbangan lain dari pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dengan melirik F-22 Raptor ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk merumahkan pesawat tempur F-111 pada 2010.
Isu penarikan F-111 pada 2010 untuk digantikan dengan pesawat tempur yang dinilai lebih canggih dan mampu menjaga supremasi tempur udara
Saat itu, ADF menyebutkan, pihaknya telah melakukan kontrak pertama akuisisi 24 unit F/A -18 F Super Hornet dan sistem pendukungnya senilai 2,9 miliar dolar dengan Angkatan Laut AS.
Berbagai masalah lainnya, termasuk akuisisi senjata, bahkan direncanakan selesai pada 2007, sedangkan pelatihan bagi para personil militer Australia di AS dimulai pada 2009 atau setahun sebelum penarikan F-111.
Dephan
Pesawat tempur buatan Boeing dan pertama kali terbang pada 29 November 1995 ini dinilai berkemampuan tinggi, terbukti dalam operasi tempur, dan memiliki multi peran.
Angkatan laut AS menfungsikan jenis Super Hornet yang memiliki seri E dan F ini hingga tahun 2030.
Sebanyak 24 pesawat Super Hornet
Setelah di udara juga di laut
Terlepas dari bagaimana akhir dari kisah "F-22 Raptor" dan "Super Hornet" di antara Canberra dan Washington DC ini, satu hal yang pasti bahwa Australia tampaknya sangat berambisi menjaga supremasi kemampuan tempur udaranya di kawasan Asia Pasifik.
Terjaganya supremasi tempur udara itu diikuti pula oleh hasrat
Ambisi memperkuat kemampuan matra laut Angkatan Bersenjata Australia (ADF) itu tampaknya dimaksudkan untuk mengantisipasi perlombaan senjata di kawasan Asia Pasifik.
Menhan Joel Fitzgibbon bahkan jauh sebelum isu "F-22 Raptor" bergulir sudah memerintahkan pembuatan rencana pengembangan generasi baru kapal selam AL Australia itu untuk menggantikan armada kapal selam kelas "Collins" pada tahun 2025.
Proyek pengembangan armada kapal selam baru dengan biaya 25 miliar dolar yang perlu waktu 17 tahun itu disebut Suratkabar "The Australian" sebagai proyek pertahanan terbesar, terlama, dan termahal di negara itu.
Rencana Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh memperbaharui armada kapal selamnya itu muncul di saat negara-negara di kawasan Asia Pasifik, seperti Indonesia, China, dan India juga mulai mengembangkan kekuatan armada kapal selamnya.
Kondisi ini berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan pertahanan angkatan laut di kawasan tersebut.
Menhan Joel Fitzgibbon berpandangan bahwa kapal selam dapat memberikan kemampuan militer yang vital bagi
Sejauh ini, Australia memiliki sedikitnya enam kelompok kapal selam, yakni HMAS Collins, HMAS Dechaineux, HMAS Farncomb, HMAS Rankin, HMAS Sheean, dan HMAS Waller.
Ambisi besar untuk mempercanggih Alat utama Sistem Senjata (Alutsista) ADF itu sepenuhnya merupakan hak Australia namun sulit untuk dipungkiri bahwa Indonesia kerap dijadikan salah satu "benchmark" pertahanan Australia di kawasan.
Asumsi ini beralasan ketika media
Harian "The Sydney Morning Herald" termasuk di antara media cetak yang paling menyoroti kesepakatan Indonesia-Rusia, khususnya tentang pengadaan sejumlah kapal selam, tank, dan helikopter senilai 1,2 miliar dolar AS itu.
Suratkabar milik kelompok
Menlu RI, Nur Hassan Wirajuda, menanggapi laporan media Australia di sela KTT APEC Sydney tahun lalu itu dengan satu penegasan bahwa Indonesia memiliki dasar keperluan yang kuat untuk membangun angkatan bersenjata yang layak.
Apa yang disepakati
Sebagai negara yang berdaulat,
"Akibatnya pembangunan angkatan bersenjata kita relatif ketinggalan. Apa yang kita sepakati dengan Rusia, daya belanja kita baru untuk mengejar tingkat kemampuan yang memadai bagi sebuah negara seperti
Apa yang disampaikan Menlu Hassan Wirajuda tentang minimnya anggaran pertahanan RI itu adalah sebuah kenyataan yang menyertai perjalanan sejarah TNI hingga saat ini.
Pertanyaan Menhan Juwono Sudarsono Januari lalu semakin menegaskan kondisi yang memprihatinkan itu padahal ia menyebut angka Rp100 triliun atau sekitar 11 miliar dolar sebagai besar dana yang ideal bagi Dephan dan Mabes TNI untuk mendukung kebutuhan negara seluas dan sebesar
Dibandingkan dengan Singapura yang menurut Menhan Juwono sudah menghabiskan dana pertahanan sebesar 44 miliar dolar AS,
Dengan kondisi demikian, siapa yang sesungguhnya berambisi besar memicu perlombaan senjata di kawasan Asia Pasifik?
Agaknya tak sulit melihat
*) my news analysis for ANTARA on Feb 25, 2008
No comments:
Post a Comment