Saturday, December 29, 2007

AUSTRALIA-INDONESIA YANG TAK LAGI BAK "AN ARRANGED MARRIAGE"

Oleh Rahmad Nasution

Kunjungan tiga hari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia yang dimulai Minggu malam akan semakin memperkuat hubungan kedua negara yang menurut Perdana Menteri John Howard sendiri bertambah "dekat" akibat bencana tsunami pada 26 Desember tahun lalu.

Kemesraan hubungan kedua bangsa yang kerap dijuluki kaum intelektual Australia sebagai "the strange neighbors" (dua tetangga yang asing) ini seakan lengkap dengan kunjungan kedua pemimpin Indonesia dalam empat tahun terakhir setelah kedatangan mantan Presiden Abdurrahman "Gus Dur" Wahid tahun 2001.

Kunjungan pertama presiden RI hasil pilihan langsung rakyat Indonesia ke Australia ini sempat ditunda akibat bencana gempa berkekuatan 8,7 pada Skala Richter yang menghantam Pulau Nias, Sumatera Utara (Sumut), 28 Maret lalu.

Penundaan itu dapat dipahami Perdana Menteri Howard yang sejak awal bencana gempa yang telah menewaskan lebih dari seribu korban ini sigap memberikan bantuan yang diperlukan Indonesia, termasuk pengerahan kembali kapal perang HMAS Kanimbla yang dilengkapi fasilitas rumah sakit dan helikopter.

Ketelibatan Australia dalam misi kemanusiaan di Nias yang sempat diwarnai dengan tewasnya sembilan personil pasukan Australia dalam musibah jatuhnya salah satu helikopter Sea King hari Sabtu (2/4), menurut Presiden Perhimpunan Mahasiwa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA), Nur Iswanto, semakin memperteguh hubungan ini.

Kondisi hubungan kedua bangsa yang semakin baik ini tampak mustahil enam tahun lalu ketika Canberra dan Jakarta mencapai "titik nadir" dalam hubungan bilateralnya akibat krisis Timor Timur tahun 1999.

Ketika itu, Australia melakukan perubahan drastis dalam kebijakan luar negerinya mengenai Timtim dengan mendukung kemerdekaan bekas provinsi ke-27 Indonesia itu.

Kondisi hubungan bilateral yang diibaratkan Heinz W.Arndt bak sebuah "perkawinan yang diatur" ini (Sulaiman, Sofyan, dan Smith 1998:24) terus mengalami pasang-surut sejak dibuka secara resmi tahun 1949.

Pasang surut-hubungan Australia dan Indonesia ini, menurut pakar hubungan internasional Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Jakarta, Hilman Adil, tidak terlepas dari isu keamanan.

Majalah Adil (1997:2) mengutip pandangan mantan Menlu Australia tahun 1950-an, P.C.Spenser, bahwa "kebijakan luar negeri sebuah negara pertama kali dan selalu mempertimbangkan situasi geografisnya. Kepentingan pertama dan abadi Australia adalah bagaimana membuatnya tetap aman dan bagaimana menjaga perdamaian di kawasan yang mengelilinginya."

Pakar CSIS ini menggarisbawahi dua faktor penting yang akan selalu mempengaruhi para pembuat kebijakan luar negeri Australia, terlepas dari siapa dan partai politik apa yang sedang berkuasa di Canberra.

Kedua faktor tersebut adalah warisan Inggris dan letak geografis yang menjadi penentu arah kebijakan luar negeri Australia yang kini berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa itu.

Perbedaan mencolok yang tidak jarang mempengaruhi cara pandang pemerintah dan rakyat kedua bangsa bertetangga ini sudah sejak lama diterangai para pembuat kebijakan di Canberra.

Mantan Menteri Luar Negeri Gareth Evans termasuk di antara "orang dalam pemerintah" Australia yang melihat perbedaan nyata ini seperti tampak dari pernyataannya: "tidak ada dua tetangga di belahan dunia manapun yang perbedaan sejarah, budaya, penduduk, bahasa, serta tradisi politik dan sosialnya seperti Australia dan Indonesia" (Ball dan Wilson 1991:1-4).

Hanya saja Indonesia masih sering dipersepsikan sebagai ancaman potensial bagi keamanan Australia jauh sebelum bahaya terorisme merebak di negara Muslim terbesar di dunia itu sejak 2000.

Indonesianis kondang dari Universitas Nasional Australia (ANU), Harold Crouch, pun mengakui persepsi sebagian Australia yang menempatkan Indonesia sebagai "negara yang paling ditakuti" (Sulaiman, Sofyan, dan Smith 1998:21).

Persepsi keliru tentang Indonesia ini seakan didukung sejumlah konsep dan kebijakan keamanan pemerintahan Howard, seperti tampak dari keyakinannya akan perlunya serangan mendahului (pre-emptive strike) dalam perang melawan terorisme, rencananya membeli rudal jarak jauh, dan pengumuman pemerintahannya akhir tahun lalu tentang zona keamanan maritim.

Seluruh kebijakan keamanan Australia ini menuai protes negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia. Bahkan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi, menyindir Howard sebagai tidak sepenuh hati mendekatkan dirinya ke Asia akibat konsep "serangan mendahului" dan kebijakan keamanan pemerintahannya yang lain.

Di tengah "onak isu keamanan" dalam sepatu hubungan Australia dengan negara-negara tetangga Asianya, khususnya Indonesia, kunjungan Presiden Yudhoyono ini justru ditengarai sejumlah pihak di Australia sebagai awal dibukanya kembali kerjasama keamanan yang terputus akibat krisis Timtim tahun 1999.

Redaktur senior Harian The Australian untuk bidang keamanan nasional, Patrick Walters, misalnya, menyebut, kerjasama bidang keamanan merupakan salah satu agenda penting kunjungan ini, di samping kerjasama di sektor ekonomi, pendidikan dan penelitian.

Deklarasi luas menyangkut dasar-dasar penguatan persahabatan kedua negara bertetangga itu pun kemungkinan ditandatangani Menlu Alexander Downer bersama mitranya Mnelu RI, Hassan Wirajuda, di Canberra di sela-sela kunjungan Presiden Yudhoyono, katanya dalam satu tulisannya baru-baru ini.

Deklarasi yang disebut "Inisiatif Indonesia" itu, menurut Walters, kemungkinan juga berisi referensi persetujuan keamanan bilateral baru kedua negara yang diharapkan mulai dibicarakan kedua pemerintahan dalam tahun ini.

Di tengah tantangan keamanan bersama, seperti ancaman terorisme dan kejahatan trans-nasional lainnya, hubungan Canberra dan Jakarta tampak semakin erat dan tampak berangsur tidak lagi seperti apa yang diibaratkan Heinz W.Arndt "an arranged marriage" yang kerap penuh dengan keasingan.

*) tulisan dalam rangka kunjungan SBY ke Australia. Dipublikasi ANTARA pada 3 April 2005.

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity