Para tokoh agama tersebut adalah tokoh gereja Anglikan Australia, Phillip Aspinall, Wakil Presiden Federasi Dewan Buddha Australia, Mohini Gunesekera, Sekretaris Dewan Hindu Australia, Vijai Singhal, dan mantan presiden RI yang juga tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Mereka menyampaikan pandangan tersebut dalam sesi tanya jawab diskusi panel pertama yang mengupas soal peran agama-agama dalam membangun perdamaian dan harmoni di Australia dan kawasan Asia Pasifik.
Tokoh gereja Anglikan Phillip Aspinall mengatakan, "agama hanya digunakan sebagai kendaraan dalam aksi kekerasan demi mewujudkan agenda tertentu."
Pandangan Aspinall itu diamini Mohini Gunesekera. Tokoh agama Buddha di Australia itu menegaskan dirinya tidak percaya bahwa agama merupakan faktor penyebab timbulnya kekerasan namun terkadang agama dipakai orang-orang tertentu untuk mendapatkan dukungan atas agenda politik mereka.
Bagi Vijai Singhal, akar pemicu banyak konflik dan peperangan di dunia sama sekali bukanlah agama melainkan kepentingan ekonomi. "Kalau kita analisa akar penyebab banyak persoalan dunia, akar penyebabnya adalah ekonomi. Sebagai contoh, kelompok masyarakat tertentu dieksploitasi oleh kelompok lain," katanya.
Kaum fundamentalis
Sementara itu, dalam paparannya, Gus Dur menyoroti tantangan kaum fundamentalis di Indonesia.
Tokoh NU dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menegaskan keyakinannya bahwa perjuangan rakyat Indonesia yang memegang teguh UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan beragama setiap warganegara akan menang menghadapi ujian dari kaum fundamentalis.
Mantan presiden RI itu mengatakan, rakyat Indonesia sudah sepatutnya memegang teguh konstitusi negara tersebut dan bekerja secara cerdas.
Dalam pemaparan lisannya dalam bahasa Inggris yang lancar di depan lebih dari 300 peserta KTT yang datang dari berbagai negara di kawasan Asia Pasifik itu, Gus Dur menyoroti kisruh masalah Ahmadiyah dan pengesahan undang-undang pornografi yang menimbulkan kontroversi di masyakarat plural Indonesia.
Kalangan yang disebut Gus Dur "fundamentalis", yakni mereka yang menggunakan kekerasan dalam merespons persoalan negara, telah memarakkan isu Ahmadiyah.
Kalangan fundamentalis mendesak pemerintah untuk melarang Ahmadiyah dan para pengikutnya sempat mengalami tindak kekerasan dimana sejumlah masjid dan sekolah mereka dirusak, kata Gus Dur.
Dalam masalah ini, pemerintah RI mengeluarkan keputusan yang netral. Selain isu Ahmadiyah, isu lain yang menempatkan rakyat dalam posisi yang dilematis adalah soal pengesahan undang-undang pornografi di tengah penentangan beragam kalangan, katanya.
"Kita tidak bisa menggeneralisir undang-udang bagi setiap orang tapi inilah situasi yang kini terjadi di Indonesia. Pada saat yang sama kita juga diminta untuk taat pada konstitusi negara. Di dalam UUD, ada jaminan bagi setiap warga negara untuk dapat hidup secara aman," kata Gus Dur.
Namun terlepas dari masalah-masalah yang kini ada dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia yang majemuk di tengah geliat demokrasi, Gus Dur mengatakan, ia optimis dengan masa depan Indonesia.
Konstitusi akan menang
"Dalam jangka panjang, konstitusi negara akan menang menghadapi ujian kaum fundamentalis... Kita harus bekerja secara cerdas dan memegang teguh konstitusi," katanya dalam panel diskusi yang dipandu Prof.James Haire, tokoh agama dan akademisi dari Pusat Kristen dan Budaya Australia itu.
Dalam KTT yang diikuti lebih dari 300 orang peserta dari Indonesia, Bangladesh, China, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Sri Lanka, Fiji, Selandia Baru, Singapura, Malaysia, dan Australia sebagai tuan rumah itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga dijadwalkan berbicara pada hari ketiga (20/2).
Konferensi yang diselenggarakan bersama oleh Pusat Multi-Keyakinan Universitas Griffith dan Pure Land Learning College dengan tema "Satu Kemanusiaan, Beragam Keyakinan" itu juga menghadirkan banyak tokoh lain.
Di antara para tokoh itu adalah Tom Calma (Komisi HAM Australia), Felix Machado (Keuskupan Nashik, India), Jeremy Jones (Dewan Eksekutif Yahudi Australia), Yi Thon (Dewan Antar-Iman Kamboja), dan Dr.Loreta Castro (Pusat Pendidikan Perdamaian Filipina).
Dari KTT itu, para peserta diharapkan menemukan titik temu nilai dan prinsip dari agama-agama yang ada dan merumuskan usul kebijakan di tingkat lokal, nasional, dan regional bagi mendorong upaya mewujudkan perdamaian dan harmoni di Australia dan hubungan Australia dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
*) My news for ANTARA on Feb 18, 2009

No comments:
Post a Comment